Namaku Sandy. Umurku kini
sudah hampir setengah abad. Hidupku saat ini memang bahagia. Meskipun jalan
hidupku tak sempurna. Meira,
Ya berkat dia aku mengerti banyak hal. Hal yang tak pernah ku duga. Hal yang
hampir membuatku gila. Hal yang takkan pernah bisa ku lupa. Bagaimana bisa aku
melupakannya? Sudah hampir lebih dari 32 tahun namanya selalu aku sebut didalam
doa. Sudah lebih dari 32 tahun bayangannya selalu ada di benak. Ya, sudah lebih
dari 32 tahun. Aku mengenalnya. Memang sudah cukup lama, tapi tak ada yang
kulupa. Semuanya begitu jelas, begitu nyata. Dya memang hadir, dya memang ada.
Di usiaku yang ke-17
Pada hari itu seperti biasa aku
bergegas untuk pergi ke sekolah.
”Dy,
nanti sehabis kamu pulang sekolah jangan lupa makan ya! Makanannya ada di atas meja makan. Hari ini mama pulang agak telat soalnya
mama lagi banyak kerjaan.” kata mama sambil mondar – mandir beresin bekas sarapan
yang berantakan.
”Iya ma, tenang aja.” Jawabku santai
Aku memang sudah terbiasa ditinggal sendiri. Sudah
15 tahun, semenjak mama memutuskan bercerai dengan papa. Sampai saat ini aku pun belum tahu mengapa mereka
memutuskan untuk bercerai. Mama tak pernah bercerita mengenai papa apalagi
menemuinya. Papa? Aku bahkan tak tahu dimana
dia sekarang, aku juga tak ingat lagi bagaimana raut wajahnya. Mungkin
dya sudah kembali ke negari asalnya. Negeri kangguru.
Hari
ini hari penerimaan siswa baru di sekolahku. Ini juga hari pertamaku di kelas
XII-1. Semuanya tak ada yang ku kenal. Semuanya asing. Aku bahkan tak ingin
kenal dengan mereka. Aku lebih suka duduk dan membaca buku, sendiri.
”Hey,
kenalin gue Nadia. Nama lu siapa sih? Sok rajin banget baca buku segala!” teriak
salah satu cewe yang duduk di depan bangkuku.
”Eh, lu gak tau ya Nad. Ini kan Sandy,
siswa teladan plus super ganteng yang dikenal paling banyak nyumbangin piala
buat sekolah.” celetuk temen sebangkunnya
”Akh yang bener lu? Oh..ternyata kamu
orangnya. OK juga. Harusnya lu tuh jadi pemain sinetron bukannya jadi siswa
teladan.” Kata Nadia.
Aku cuman senyum. Basi. Aku paling
gak suka ada orang yang mulai mengusik kesendirianku. Aku tahu bahkan mungkin
orang – orang tahu bahwa aku ini memang terlihat begitu sempurna. Tapi tidak,
tak ada yang dapat membuatku bahagia. Aku ingin bahagia. Bahagia karna dicintai bukan bahagia karna dikagumi.
Hari kedua di kelas XII-1. Aku sengaja berangkat agak siang, aku mau
setelah sampai sekolah pelajaran pertama langsung di mulai. Tapi ternyata di kelas masih sepi. Aku tak
tahu mereka pergi kemana. Mungkin mereka punya pikiran yang sama denganku.
”Hey,
cowok kutu buku. Kamu gak ngikut ma cowo – cowo yang laen?” Kata Nadia yang
berjalan ke arahku.
”Huh?” balasku cetus
”Itu
tuh, ada anak kelas X yang katanya cantik selangit. Ya blasteran gitu deh.”
kata Nadia.
”Owh..”
Jawabku singkat.
Jam pertama akhirnya dimulai.
Pelajaran biologi. Boring. Ngantuk, gak karuan.
”Bu saya izin. Mau ke belakang
sebentar.” Kataku sambil mengangkat tangan.
”Iya, silahkan” Jawab ibu guru
biologi itu.
Setelah membasuh wajahku, Akhirnya
mataku kembali pada keadaan yang normal. Aku mulai melangkahkan kaki untuk kembali
ke kelas. Aku mulai melewati lorong – lorong kelas, aku melihat ada seorang
perempuan yang sedang memandang ke arahku. Dya tersenyum. Manis.
Semenjak saat itu pikiranku tak
karuan. Aku rasa tak ada salahnya mencari tahu siapa sebenarnya perempuan itu.
Sebagai seorang lelaki, mungkin tak ada salahnya jika aku mempunyai kekasih.
Cinta pertama. Namanya Meira. Mungkin dia orangnya. Orang yang dibicarakan oleh
Nadia. Dia memang cantik. Kulitnya mulus, putih. Pipinya kemerah – merahan. Rambutnya lurus, pirang. Semua yang ada
padanya memang terlihat begitu sempurna. Nyaris tak ada satupun goresan. Sudah satu bulan ini aku mendekatinya. Tak
ada satupun masalah untuk mendekatinya. Dya selalu mengenalkanku pada teman –
temannya. Terutama teman baiknya.
”Kak kenalin ini sahabatku namanya Sarah” Kata Meira padaku
”Sandy”
”Sarah” ujarnya lembut.
Sarah. Pertama melihatnya aku langsung menyukainya. Dya
memang tidak secantik Meira. Tapi gadis berkerudung itu terlihat berbeda. Tutur
katanya begitu santun, tingkah lakunya begitu sopan. Dya adalah perempuan dunia
dan akhirat. Dia memang terlihat sangat sederhana. Tapi itulah yang sangat aku
suka dari seorang perempuan. Pujaanku. Sarah adalah perempuan solehah yang
selama ini aku dambakan.
Meira juga baik. Meira tidak seperti
perempuan cantik pada umumnya. Ada suatu rasa yang bergejolak dalam diriku
ketika aku melihatnya. Aku ingin selalu ada di dekatnya. Aku ingin selalu
melindunginya. Aku tahu
sekali perasaan ini muncul bukan karena dia sangat cantik. Saat pulang sekolah
nanti aku berniat menemuinya.
”Meira, Maukah kau menjadi pacar
kakak?”
Dia hanya tersenyum. Aku bingung. Aku hanya bisa diam. Aku tak tahu harus
mengartikan itu apa. Mungkin ya atau tidak. Argh..mengapa dya hanya tersenyum.
Mengapa dya tidak langsung menjawab saja dengan satu kata yang pasti.
Dia tersenyum kemudian pergi. Tidak!! Aku tak habis pikir kenapa di bisa menolakku. Aku kira selama ini dia menyukaiku. Dia
terus berjalan dan di langkahnya yang ke-3 dia menengok ke arahku dan berkata,
”Iya”.
Semenjak itu hidupku terasa sempurna. Bahagia. Meskipun kami menjalani hari
– hari ini sama seperti pasangan pada umumnya. Bagiku dia adalah karunia Tuhan
yang sangat indah. Banyak kesamaan yang aku temukan bersama Meira. Aku berniat
mengenalkan Meira pada mama tapi akhir – akhir ini aku jarang bertemu dengan
mama.
Malam ini malam minggu. Biasanya aku selalu menghabiskan waktu untuk
mengerjakan tugas, tapi pada malam ini aku ingin menghabiskan waktu dengan
Meira. Aku ingin membawanya ke suatu tempat. Aku ingin malam ini sangat
berkesan untuknya. Aku ingin malam ini tak akan pernah bisa ia lupakan.
Setelah aku sampai ke rumahnya aku diperkenalkan pada ayahnya. Sungguh
sangat mendadak. Memang tidak ada rencana. Tak ada persiapan. Bahkan tak pernah
terpikir akan bertemu dengan ayahnya.
”Dad, kenalin ini kak Sandy. Temen aku.” ujar Meira.
”Malem Om. Saya Sandy” kataku gugup.
”Mau apa malem – malem kemari?” balasnya agak garang
”Dady!!Kami mau jalan – jalan sebentar. Boleh ya??” kata Meira menjelaskan.
Malam tadi memang sempurna. Tapi hari ini aku harus lembur mengerjakan
tugas sekolah yang terus menumpuk.
Akhirnya hari Senin pun datang. Aku sudah rindu pada Meira. Dari kemarin
dya tidak memberi kabar, mungkin dya memang tak ingin menggangguku.
Tet....tet....
Suara bel berbunyi. Sudah
jam istirahat tapi aku masih belum menemukan Meira. Hp-nya ga aktif. Aku
menelusuri sekolah untuk kedua kalinya. Aku ingin sekali bertemu dengannya.
”Sarah” teriakku sambil berjalan menghampirinya
”Kak Sandy, ada apa?” balasnya
dengan sebuah pertanyaan.
”Kamu gak sama Meira? Kemana dya?”
”Kakak gak tau. Hari ini kan dya gak sekolah
katanya sih sakit.”
”Sakit?”
”Iya.”
”Sakit apa?”
”Maaf kak, aku kurang tahu.”
Setelah pulang sekolah aku mencoba untuk menghubunginya lagi. Dya bilang
dya tidak apa – apa hanya sakit flu biasa saja. Aku ingin sekali menjenguknya
tapi dya melarangku. Sudah sebulan sejak dya sakit, aku dan Meira jarang berkomunikasi lagi. Dya
seakan menjauh. Pesanku tak pernah di balas. Telponku tak pernah dia angkat.
Sangat susah untuk bertemu dengannya.
Aku tak tahu mengapa. Apa ada yang salah pada diriku? Atau aku pernah
berbuat salah padanya? Mungkin karena ayahnya? Tapi dya pernah bercerita bahwa
ayahnya tidak pernah melarangnya untuk berpacaran. Meira membuatku bertanya –
tanya bahkan menyiksaku. Aku tak bisa berdiam diri. Dya harus memberikan alasan
padaku atau aku akan mencari tahu.
Aku tak tahu harus meminta tolong kepada siapa lagi kecuali Sarah. Aku
yakin dya akan sangat membantuku.
”Aku juga tak tahu kak. Dya tak pernah lagi cerita sama aku. Tapi akhir –
akhir ini dia memang kelihatan murung.” kata – kata Sarah waktu tadi siang
selalu tergiang di telingaku. Aku tak bisa tidur. Aku hanya bolak – balik di
atas tempat tidur. Meira, mengapa engkau membuatku sangat khawatir.
”San, bangun!! Ini sudah pagi. Nanti kamu kesiangan” Teriak mama dari pintu
kamar.
Mataku masih terpejam tapi telingaku mendengar suara mama begitu jelas.
Tanganku berusaha meraih handphone yang selalu aku taruh di atas meja samping
kasurku untuk melihat jam. Handphoneku mati. Aku terpaksa bangun lalu mandi. Setelah
makan aku mengaktifkan handphoneku yang baru saja baterainya terisi penuh. 58
message, 23 missed call. Apa
– apaan ini? Tanyaku dalam hati.
Sms itu tak ku baca satu per satu tapi hampir semua kalimatnya sama. ”Aku
turut berduka cita”. Berduka cita? Siapa? Aku dan mamaku baik – baik saja. Apa
ini sebuah lelucon? 23 missed call kebanyakan dari Sarah. Aku langsung
menghubunginya.
Pagi ini aku menancap gas mobilku hingga kecepatan 120 km/jam. Aku tak
karuan. Aku merasa sedang bermimpi. Aku bunyikan klakson pada setiap mobil yang
memperlambat kecepatanku. Aku harap ini memang benar – benar sebuah lelucon di
bulan April.
Aku mulai menginjak rem mobilku. Rumah Meira yang berada di ujung jalan
sudah mulai terlihat jelas. Terlihat banyak orang yang mengerumuni rumah Meira.
Dari jendela mobil aku melihat bendera berwarna kuning menancap di pagar rumah
Meira.
Saat masuk ke dalam rumahnya aku melihat Sarah dan teman – temannya sedang
menangis.
”Sarah. Apa yang terjadi? Mana Meira?” tanyaku padanya.
Matanya menunjuk pada sesosok tubuh berbalut kain tepat di tengah – tengah
kerumunan.
Aku mendekatinya, melihat wajahnya dan mencium keningnya. Dia tidak
tersenyum, dia tidak merespon lagi seperti dulu. Aku menepuk nepuk pipinya yang
kini berwarna pucat pasi. Aku berharap dia hanya pingsan. Kemudian aku
memeluknya dan mecium keningnya untuk ke dua kali, setelah sadar bahwa dia memang
akan pergi meninggalkanku untuk selamanya. Aku berteriak memanggil maggil
namanya. Berteriak begitu keras kemudian menangis. Ayahnya mulai membangunkanku
dan memberikan sepucuk surat dari Meira sebelum ia memotong nadi untuk
mengakhiri hidupnya.
Malam ini aku tak bisa tidur. Aku hanya bisa menangis sepanjang malam. Aku
memang lelaki yang rapuh. Sangat
rapuh. Bukan memikirkan nasibku tapi aku takut akan Meira. Setiap kali aku memejamkan mata
bayangannya selalu datang. Aku melihatnya begitu tersiksa. Aku tak sanggup. Sejak
itu setiap hari aku berdoa dan memohon pada Tuhan agar Tuhan menerima dan
mengampuni Meira.
Esoknya aku teringat surat yang di berikan ayahnya Meira kepadaku. Aku
membukanya, tapi isinya hanya sebuah foto. Foto keluarga yang terlihat sangat
bahagia dan harmonis. Keluarga kecil yang terdiri dari ayah, ibu, anak laki – laki, dan seorang bayi.
Itu aku. Anak laki – laki itu adalah aku. Aku hampir lupa bahwa aku
mempunyai adik. Aku bahkan
tidak tahu bahwa adik ku itu bernama Meira. Aku begitu merasa bersalah. Aku
begitu merasa hina. Aku juga bahkan ingin mati. Tapi Sarah selalu datang untuk
menghibur dan menenangkanku.
Walaupun aku terlihat begitu tidak tahu diri tapi hari ini aku berniat menemuai
ayahnya Meira. Ayahku.
”Permisi Om.”
”Tidak usah panggil Om, kamu kan sudah tahu yang sebenarnya.”
”Papa.”
Aku langsung memeluknya erat – erat. Papa yang sudah lama tak bertemu. Papa
yang bahkan tidak pernah aku ingat wajahnya. Tapi kini, dengan begitu tidak
terduga. Air mataku bercucuran, tak tahu apakah ini rasa bahagia atau
sebaliknya.
Aku banyak berbincang dengan papa mengenai Meira, aku, mama, ataupun papa.
Aku sempat meminta maaf padanya mengenai cinta kasih yang aku jalani dengan
Meira. Aku tak tahu. Aku benar – benar tidak tahu kalau perasaan itu hanya
sebatas cinta kakak dan adik. Perbedaan itu sangat tipis. Hanya aku yang
terlalu bodoh. Bodoh dalam mengartikan cinta.
Meira mengetahui yang sebenarnya ketika dia sakit. Sakit flu. Seminggu yang
lalu. Tidak sengaja dya menemukan buku foto – foto. Sejak itulah dya memiliki
foto itu. Foto keluarga yang terlihat bahagia dan harmonis. Dya bertanya pada
ayah tentang anak laki - laki dan wanita yang ada di dalam foto. Meira tahu
nama kamu dari ayah. Ayah menceritakan semuanya pada Meira
mengenai kami. Mengenai kami yang ayah kenal 15 tahun silam. Meira tak
tinggal diam. Dia mencari tahu keberadaan kami. Akhirnya dya pun tahu
bahwa kakak Sandy yang dya cari adalah aku, kekasihnya.
Kemungkinan besar dya depresi. Kemungkinan besar dia melakukan itu karena
aku. Aku bisa bayangkan, aku bisa rasakan. Dia pasti merasa malu. Dia pasti merasa
hina pernah berpacaran dengan kakak kandungnya sendiri. Dia tak tahu bagaimana
cara mengatakannya, menjelaskannya.
Aku sangat bersyukur Sarah sangat memperhatikan aku. Dia meyakinkanku bahwa
tiada yang salah. Semua itu terjadi begitu saja. Takdir. Sejak saat itu aku
sadar bahwa cintaku yang sesungguhnya hanya pada Sarah. Dan sampai detik ini
akupun hidup bahagia dengannya.
Hari ini, tepat 32 tahun Meira meninggalkan aku. Bunga yang kemarin aku
bawakan masih bersisa di tempatnya. Hari ini aku membawakan bunga mawar, bunga
kesukaannya. Setelah menaburnya. Aku membacakan doa untuknya. Aku menangis. Meskipun umurku bertambah
dewasa tapi aku masih tetap rapuh. Apakah Meira kini telah bahagia di alam
sana? Tiba – tiba seseorang menepuk pundakku. Sarah. Dia tersenyum kemudian
duduk disampingku lalu memelukku.
Aku harap aku dapat menyayangimu lagi Meira. Di alam sana. Namun dengan
cinta yang berbeda. Cinta seorang kakak dengan adiknya.
Karya : Rhea
folbeeekk